Ngaji Fiqh Siyasah di PP. Tebuireng Jombang
Memaknai Relasi Agama dan Negara *

By infokampusku.id 18 Sep 2022, 00:28:58 WIB Esay
Ngaji Fiqh Siyasah di PP. Tebuireng Jombang

Keterangan Gambar : Dok. Anggit


Kajian Fiqh Siyasah titik berat aspek relasi antara agama dan negara. Dimana agama sebagai pondasi dan negara sebagai penjaga. 

Agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kajian bertajuk Fiqh Siyasah, Negara dan Bangsa yang digelar di Aula Lantai 3 Gedung Yusuf Hasyim, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang pada Sabtu (17/9/2022) ini menghadirkan diskusi yang begitu kental dengan keadaan saat ini.

Salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut yakni, Rektor Unisma Prof. Dr. Maskuri Bakri, menyampaikan pendapatnya tentang bagaimana agama menjadi pondasi bagi kehidupan bernegara. 

Baca Lainnya :

    Lebih lanjut, kajian Fiqh Siyasah dalam kajian klasik maupun modern tidak berkaitan dengan siyasah tathbiqiyah (politik praktis). Namun lebih dititikberatkan pada aspek relasi antara agama dan negara.

    Al Juwaini yang berjuluk Imamul Haramain guru dari Al Ghazali dalam karyanya yang fenomenal yaitu al Ghiyatsi menjelaskan mendirikan negara atau membaiat pemimpin hukumnya adalah wajib (Al-Juwaynī, 1981).

    "Secara tidak langsung, hal ini berarti syariat sangat memperhatikan adanya kepemimpinan yang sah. Mengingat antara agama dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling membutuhkan," ucapnya kepada para audiens. 

    Syariat mengatur sedemikian rupa, dikarenakan agama berperan sebagai pondasi. Sementara negara adalah penjaganya. Agama tanpa negara maka akan sia-sia. 

    "Untuk menegakkan berbagai macam aturan kehidupan manusia, agar perintah dapat optimal dilaksanakan serta larangan dapat dijauhi secara total dibutuhkan keterlibatan negara," ungkapnya. 

    Dikatakannya, agama atau dalam hal ini lebih spesifik diperankan oleh Fiqih merupakan prinsip yang menjadi landasan bagi para pemeluknya untuk melakukan amal terbaik sesuai bidang masing-masing. 

    Termasuk para penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi warganya. 

    "Allah SWT menciptakan alam semesta ini bukan hanya sekedar menciptakan dan meninggalkannya, namun juga memberlakukan konsep tadbiir (manage) yakni alam semesta ini dikelola dan diatur oleh Allah SWT sebagaimana yang telah diatur di dalam Fiqh," jelasnya. 

    Lebih lanjut, ia mengutip dari Asy-Syathibi (1997) yang menyatakan dalam Al Muwafaqat Nya, kepentingan agama adalah menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dari segi agama, keturunan, akal dan harta. 

    "Untuk melindungi kelima unsur tersebut diturunkan lah Al Qur'an dan Sunnah yang kemudian diinterpretasikan kepada Ijma’, Qiyas, istishab, maslahah mursalah, urf, amalu ahlil Madinah dan istihsan," katanya. 

    Dalam konteks itulah, relasi pada akhirnya antara agama dan negara ini dibutuhkan sikap tawassuth fit tadayyun (moderasi dalam beragama) agar perilaku yang timbul dari diri manusia dapat selaras tidak ekstrim ke kanan atau ke kiri. 

    "Moderasi beragama berarti memoderasi sikap dalam beragama terutama kaitannya dengan perilaku berbangsa dan bernegara agar tercipta negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Untuk mewujudkan itu semua dibutuhkan nasionalisme/ paham kebangsaan (persatuan bangsa) dan cinta tanah air," imbuhnya. 

    Menurutnya, nasionalisme harus terpatri dalam sanubari setiap anak bangsa demi menjaga semangat mempertahankan, siap berkorban dan berjuang demi bangsa sehingga tetap 

    lestari kemajemukan baik di bidang agama, suku dan budaya. 

    "Saat itu semua kuat maka dapat menjadi kekuatan yang memperkokoh kedaulatan satu negara. Nasionalisme ini adalah termasuk kesunahan dalam perspektif Living sunnah berdasarkan sirah Nabawiyah," tukasnya. 

    Negara Dalam Pandangan Fiqh. 

    Masih kata Maskuri, dalam Nash Sharih tidak menjelaskan secara implisit aturan seputar bentuk negara. Karena pembentukan negara merupakan persoalan siyasah yang secara teknis disesuaikan dengan kondisi. Dengan memegang prinsip, sekiranya lebih mendekatkan pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudharatan. 

    Seandainya bentuk negara adalah bagian dari syariat, tentu secara spesifik Al Qur'an sudah menentukannya. Al Qur'an berbicara tentang kisah para penguasa, seperti namrud di masa Nabi Ibrahim AS, Fir’aun di zaman Nabi Musa AS. Dzulqarnain, Nabi Sulaiman AS, ratu bilqis, raja Jalut dan Thalut. Tetapi tidak ditemukan satupun teks Al Qur'an yang menyoal bentuk negaranya.

    "Al Qur'an justru lebih fokus memberikan catatannya terhadap baik buruknya perilaku penguasa secara personal agar dapat dijadikan ibrah bagi umat-umat berikutnya," tuturnya. 

    Sebagaimana Al Qur'an, teks-teks hadits pun hanya menyoal kedisiplinan pemimpin dan tata hubungan sosialnya. 

    "Suatu ketika Nabi Muhammad SAW menyebut penguasa dengan kata sultan (raja), pada kesempatan lain dengan kata Imam (pemimpin, di lain kesempatan juga dengan kata al Mas’ul (yang dimintai pertanggung jawaban)," katanya lebih jelas. 

    Semua itu disebutnya untuk menegaskan persoalan bentuk negara merupakan bagian dari siyasah di mana kaitan pembahasan ini adalah diserahkan kepada para fuqaha’ yang menginterpretasikan kandungan-kandungan al Qur'an dan Hadits dalam mengkajinya.

    Penulis: Anggit Pujie Widodo




    Write a Facebook Comment

    Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

    View all comments

    Write a comment