Nasib Guru Honorer: Antara Pengabdian dan Kesejahteraan
Ditulis oleh: M. Sahrozzi - Penulis Buku Pendidikan Itu Tidak Penting

By infokampusku.id 26 Jul 2025, 10:27:27 WIB Esay
Nasib Guru Honorer: Antara Pengabdian dan Kesejahteraan

Keterangan Gambar : M. Sahrozzi | Penulis Buku Pendidikan Itu Tidak Penting


Nasib guru honorer di Indonesia telah menjadi permasalahan sistemik yang mengakar dalam dunia pendidikan selama bertahun-tahun. Mereka yang mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa ini justru terjerat dalam lingkaran ketidakpastian status dan kesejahteraan yang minim. Data terbaru dari survei IDEAS pada 2024 menunjukkan realitas yang memprihatinkan: 74 persen guru honorer memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, bahkan 20,5 persen di antaranya masih berpenghasilan di bawah Rp500 ribu per bulan. Angka ini jauh di bawah upah minimum terendah di Indonesia, mencerminkan ketidakseimbangan yang mencolok antara dedikasi yang diberikan dengan penghargaan yang diterima.

Secara yuridis, kedudukan guru honorer telah diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada dasarnya mengakui hak guru untuk memperoleh penghasilan yang layak dan menjamin kesejahteraan hidup. Namun, implementasi undang-undang ini masih jauh dari harapan, khususnya bagi guru honorer yang tidak memiliki status kepegawaian yang jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 mendefinisikan guru honorer sebagai bagian dari tenaga honorer yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian, namun definisi ini tidak memberikan jaminan kesejahteraan yang memadai.

Situasi semakin kompleks dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal 66 UU ASN menyatakan dengan tegas bahwa pegawai non-ASN atau nama lainnya wajib diselesaikan penataannya paling lambat Desember 2024, dan sejak undang-undang ini berlaku, instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN selain ASN. Ketentuan ini menciptakan kegelisahan mendalam di kalangan guru honorer yang khawatir akan kehilangan pekerjaan mereka.

Baca Lainnya :

Merespons kondisi ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan berbagai janji peningkatan kesejahteraan guru. Mulai tahun 2025, pemerintah memberikan Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp2 juta per bulan untuk guru honorer non-ASN yang telah menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru, naik dari sebelumnya Rp1,5 juta. Kenaikan ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah yang mengalokasikan anggaran kesejahteraan guru ASN dan non-ASN tahun 2025 sebesar Rp81,6 triliun, naik Rp16,7 triliun dari tahun sebelumnya.

Namun, janji-janji ini perlu dilihat secara kritis. Pertama, tunjangan profesi guru hanya dapat dinikmati oleh guru honorer yang telah bersertifikat melalui PPG, padahal tidak semua guru honorer memiliki akses atau kemampuan untuk mengikuti program ini. Kondisi finansial yang minim justru menjadi hambatan bagi mereka untuk mengembangkan kompetensi profesional. Kedua, meskipun tunjangan dinaikkan menjadi Rp2 juta, angka ini masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak di era inflasi saat ini.

Pemerintah juga mengumumkan rencana penggantian sistem seleksi PPPK dengan tes yang lebih efisien pada 2025, yang diklaim akan memberikan kepastian karir bagi guru honorer. Langkah ini memang positif, namun perlu diingat bahwa proses pengangkatan guru honorer menjadi ASN selama ini telah mengalami banyak kendala birokrasi dan keterbatasan kuota. Tanpa reformasi struktural yang mendasar, perubahan sistem seleksi saja tidak akan menyelesaikan akar permasalahan.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kesenjangan kesejahteraan antara guru ASN dan guru honorer masih sangat lebar. Guru ASN menerima gaji pokok yang berkisar dari Rp4,4 juta hingga Rp7,3 juta berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2024, belum termasuk tunjangan profesi yang setara gaji pokok. Sementara itu, guru honorer hanya mengandalkan honor yang bervariasi tergantung daerah dan kemampuan anggaran sekolah.

Tantangan lain yang dihadapi guru honorer adalah ketidakpastian status yang berdampak pada akses terhadap program kesejahteraan lainnya. Mereka tidak memiliki jaminan pensiun, asuransi kesehatan yang memadai, atau perlindungan hukum yang kuat. Ketika mereka sakit atau mengalami kecelakaan, tidak ada jaminan sosial yang dapat melindungi mereka dan keluarga.

Ironi terbesar dari kondisi ini adalah bahwa guru honorer sering kali memiliki beban kerja yang sama atau bahkan lebih berat dibandingkan guru ASN. Mereka mengajar dengan dedikasi yang sama, menghadapi tantangan yang sama dalam mendidik generasi penerus bangsa, namun mendapat perlakuan yang berbeda secara signifikan. Hal ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Dari perspektif hukum, perlakuan diskriminatif terhadap guru honorer ini sebenarnya bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 yang menjamin kesejahteraan guru sebagai profesi yang terhormat. Pasal 14 undang-undang tersebut dengan jelas menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan yang layak dan menjamin kesejahteraan hidup. Namun, implementasinya masih jauh dari ideal.

Ke depan, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem kepegawaian guru. Janji-janji peningkatan kesejahteraan harus diikuti dengan roadmap yang jelas dan terukur. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian status kepegawaian yang lebih pasti bagi guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun, bukan hanya melalui seleksi yang ketat dan terbatas.

Transformasi pendidikan 2025 yang dicanangkan pemerintah dengan penambahan anggaran Rp10,4 triliun untuk kesejahteraan guru dan dosen memang memberikan harapan. Namun, komitmen ini harus diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan. Guru honorer tidak boleh terus dijadikan "pahlawan tanpa tanda jasa" yang hanya mendapat pengakuan moral tanpa kesejahteraan yang memadai.

Akhirnya, nasib guru honorer adalah cerminan dari keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan. Tanpa menyelesaikan permasalahan guru honorer secara tuntas, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 akan sulit tercapai. Guru yang sejahtera adalah prasyarat mutlak untuk pendidikan yang berkualitas, dan pendidikan berkualitas adalah kunci kemajuan bangsa. Oleh karena itu, janji-janji pemerintah tentang kesejahteraan guru harus dikawal implementasinya agar tidak hanya menjadi retorika politik belaka.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment